Perkembangan Teknik Hibridoma
Agus Sjahrurachman
Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
PENDAHULUAN
Dalam
kurun waktu puluhan tahun sejak Metchnikoff dan Erhlich mengemukakan
teori imunologi sehingga mendapatkan hadiah Nobel 1908, banyak kemajuan
yang telah dicapai baik
pada imunologi seluler maupun humoral
(1).. Sampai tahun 1975 walaupun imunologi khususnya imuno kimia telah
cukup maju, antibodi yang digunakan untuk mengikat atau mengenali suatu
antigen masih dibuat dengan cara yang konvensional yaitu mengimunisasi
hewan percobaan, mengambil darahnya dan mengisolasi antibodi dan serum
sehingga menghasilkan antibodi polikional. Dalani antibodi poliktonal
jumlah antibodi yang spesifik sangat sedikit, sangat heterogen karena
dapat mengikat bermacam-macam epitop dan antigen yang diimunisasikan.
Juga pembuatannya, dan awal pemurnian antigen sampai menghilangkan
antibodi yang tidak diinginkan sangat memakan waktu dan su1it (2)
.
Kohier
dan Milstein (1975) memperkenatkan cara baru membuat antibodi dengan
mengimunisasi hewan percobaan, kemudian sel limfositnya
dihibridisasikan dengan biakan sel tertentu sehingga hibrid dapat
dibiakkan terus menerus (immortal) dan membuat antibodi
monoklonal(2,3). Antibodi monokional yang dibuat oleh sd hibrid
mempunyai sifat tebih baik dan antibodi polikionat karena hanya
mengikat 1 epitop serta dapat dibuat dalam jumlah tak terbatas (2).
Terobosan teknik hibnidoma yang menghasilkan antibodi monoktonal
terhadap antigen, mem-
buka era baru cara identifikasi dan
niemurnikan suatu motekul pada berbagai disiptin ilmu, juga membuka
cakrawata dalam prosedur diagnostik dan pengobatan dan pencegahan
atternatif
pada keganasan dan berbagai penyakit lain(4,5,6,7,8)
.
PRINSIP PEMBUATAN ANTIBODI MONOKLONAL
Tujuannya ialah menciptakan sel pembuat antibody homogen yang dapat dibiakkan terus menerus (immortal), melalui :
1) Fusi sel limpa kebal dan sel mieloma
Pada
kondisi biakanjaringan biasa, sel limpa yang membuat antibodi akan
cepat mati sedangkan sel mieloma dapat dibiakkan terus menerus. Fusi
sel dapat menciptakan sel hibnd yang membuat antibodi seperti sel timpa
dan dapat dibiakkan terus menerus seperti sel mieloma (9,10,11)
.
2) Eliminasi sel induk yang tidak fusi
Frekuensi
terjadinya hibrid sel timpa-sel mieloma biasanya rendah, karena itu
penting untuk mematikan sel yang tidak fusi yang jumlahnya lebih banyak
agar sel hibrid mempunyai kesempatan untuk tumbuh, dengan cara
menggunakan:
(i) Sel mieloma mutan yang mempunyai kelainan
(defect) sintesis nukleotida yaitu sel mieloma yang tidak mempunyai
enzim timidin kinase (TK) atau hypoxanthine phosphoribosyt transferase
(HGPRT) sehingga dalam sintesis nukleotida tidak dapat menggunakan
salvage pathway dan
(ii) Media selektif yang dikembangkan oleh
Littlefield, mengandung hypoxanthine, aminopterin dan thymidine (HAT).
Aminopteninmenghambatjalan biasa biosintesis purin dan piri- midin
sehingga memaksa sel menggunakan salvage pathway. Sel yang tidak fusi
karena tidak mempunyai enzim timidin kinase atau hypoxanthine
phosphonibosyttransferase akan mati, sedangkan sel hibrid karena
mendapatkan enzim tersebut dan sel mamalia yang difusikan dapat
menggunakan salvage pathway sehingga tetap hidup dan berkembang (10,12)
.
3) Isotasi Mon yang diinginkan
Sel
hibrid dikembang biakkan sedemikian sehingga tiap sel hibrid akan
membentuk kotoni sendiri. Tiap koloni kemudian dipelihara terpisah satu
sama lain. Hibridoma yang terbentuk di-
pilih dengan cara
mendeteks antibodi yang disekresikan dalam Cermin Dunia Kedokteran No.
104, 1995 52 medium. Kadarantibodi biasanyacukuptinggi(± 10100 u/ml),
sehingga banyak uji serologi yang dapat digunakan tergantung jumlah
antigen spesifik yang tersedia, tetapi yang paling sering digunakan
adalah radioimmunoassay (RIA) dan enzyme linked immunosorbent assay
(EL1SA)(12)
.
4) Produksi antibodi monokional spesifik Setelah
klon hibridoma yang diinginkan dapat diisoiasi, maka produksi antibodi
monokional dapat dilakukan dengan cara :
(i) in vitro, membiakkan
pada medium biakan jaringan dan antibodi dapat dipanen dan supernatan.
Kadar pada umumnya 10100 ug/ml supernatan,
(ii) in vivo,
mentranspiantasikan intraperitoneal pada binatang, antibodi dipanen dan
cairan asites. Kadar pada umumnya 1-25 mg/ml cairan asites(10,12)
.
PERKEMBANGAN TEKNIK HIBRIDOMA
Sejak
diperkenaikan, teknik hibridoma telah banyak mengalami perkembangan
untuk mendapatkan klon secara efisien dan hibridoma yang hidup secara
maksima(13). Sejalan dengan
tujuan maka pengembangan timbul pada cara-cara:
1) Imunisasi
Hibridoma
merupakan hasii fusi 2 sei yaitu sd mieioma dan sel B penghasii
antibodi. Karena itu supaya memperbanyak sel B spesifik terhadap
antigen yang diinginkan penting supaya populasi sel B pesifik jumlahnya
lebih banyak sehingga hasil fusi mencapai maksimal. Banyaknya sel B
spesifik dipengaruhi antigen baik caranya stimuiasi maupun sifat dan
antigen sendiri, Sehingga untuk memperbanyak sel B spesifik, dilakukan
berbagai cara imunisasi, yaitu:
(i) Konvensional
Cara ini
sebenarnya sama dengan cara imunisasi untuk membuat antibodi
poiikional. Antigen berupa protein atau polisakanida dalam volume yang
sama diemulsikan dengan complete
Freuncfs adjuvant, bila antigen
seluier dibuat tanpa ajuvan. Antigen disuntikkan subkutan pada beberapa
tempat atau intraperitoneai, setelah 23 minggu disusul suntikan antigen
tanpa ajuvan secara intravena sekali atau beberapa kaii. Mencit dengan
tanggap kebal terbaik dipilih, 12 hari setelah suntikan terakhir mencit
dibunuh dan diambil sel limpanya(11,12). Cara ini dianggap
cukup
baik dan secara umum banyak dipakai, walaupun di- pengaruhi sifat
antigen berupa imunogen kuat atau lemah serta tanggap kebal binatang
yang berbeda-beda. Bila informasi antigen yang iengkap tidak bisa
didapatkan cara imunisasi ini terbukti memberi hasil cukup baik(11)
..
(ii) Imunisasi sekali suntik intralimpa (Single-shot intrasplenic immunization)
Pada
imunisasi konvensional, antigen dipengaruhi ber- macam-macam faktor.
Bila disuntikkan ke dalam darah sebagian besar akan dibuang
secaraaiami, sedangkan melalui kulit akan tersaring kelenjar limfe
regional, makrofag dan sel retikuler. Hanya sebagian kecii antigen yang
terlibat daiam proses tanggap kebal. Pada hibridoma yang diperlukan
adalah sel limpa, karena itu untuk mencegah eiimin antigen oleh bagian
lain dari tubuh dilakukan suntikan imunisasi langsung pada limpa dan
ternyatahasilnya lebih baik dan cara konvensional(14). Selain
memberikan hasil klon spesifik yang lebih banyak, imunisasi intraiimpa
ini memberi keuntungan yang lain :
(1) Pemakaian antigen yang sangat hemat, misalnya untuk imunisasi dengan 1gM manusia
hanya
diperiukan 20 ug, sedangkan untuk antigen berupa sel hanya diperlukan
200.000 sel, sehingga dapat dibuat hibridoma dan antigen yang terbatas
jumiahnya. Karena hampir semua binatang percobaan membeni tanggap kebal
yang baik, tidak diperiukan binatang dalam jumlah yang besar(14).
(2) Fusi dapat
dilakukan dalam waktu 3 hari seteiah imunisasi(14)
.
(iii) Imunisasi in vitro
Tidak
ditemukannya antibodi monokional spesifik sering karena kegagalan
stimulasi limfosit B pada imunisasi in vivo. ini mungkin disebabkan
toleransi atau adanya antigen hierarchy response (reaksi tanggap kebai
hanya terhadap beberapa komponen antigen). Sering terjadi setelah
imunisasi dengan antigen yang Iemah, wataupun titer antibodinya tinggi
ternyata gagal mendapatkan hibridoma spesifik karena rendahnya jumtah
sel B spesifik dalam limpa, maka untuk mengatasinya dilakukan imunisasi
in vitro(15). Pada prinsipnya sel timpa belum imun
ditambah
antigen dan TCM (thymocyte culture-conditioned medium) yaitu medium
biakan sel thymus setelah inkubasi 48 jam. Antigen dapat benupa antigen
tertarut sebanyak 301000 ug
atau sel yang difiksasi aikohol atau
yang diradiasi 4500 rad dengan Cesium radioaktif. Setelah diinkubasikan
37°C selama 5 hari akan banyak dijumpai sel blast yang besar dan pada
keadaan ini sel siap untuk dilakukan fusi(15)
.
Sebagai contoh
kebenhasiian imunisasi in vitro : melalui imunisasi in vitro dengan 107
sel acute myeloid leukemia (AML) yang difiksasi alkohol, 31 dan 96
sumur biakan menghasilkan
hibridoma spesifik dan antibodi dan 6
dari klon ternyata sangat spesifik karena tidak beneaksi dengan sel
darah penifer maupun sel sumsum tuiang. Hasil ini berbeda bila
dibandingkan melalui
imunisasi in vivo, antibodi yang dihasiikan
sebagian besar bereaksi dengan major histocompatibility antigen atau
major rnyeloid differentiation antigen yang merupakan bagian terbanyak
dari permukaan sel(15)
.
Perkembangan selanjutnya merupakan
penyederhanaan kon-disi imunisasi in vitro yaitu menggunakan medium
yang biasa untuk biakan jaringan yaltu RPMI (Roswell Park Memorial
Institute) atau DMEM (Dulbeco `s Mod Eagle's Medium) dan ajuvan peptida
yang mudah didapat, N-acetytmuramyl-L-alanyi-D-isoglutamine. Cara ini
terbukti telah meningkatkan jumlah hibridoma pembuat antibodi
sertajumlah hibridoma yang dapat bertahan hidup. Pada pninsipnya cara
ini sama dengan di atas, yaitu sel limpa beium imun ditambah antigen
dan 20 ug Nacetylmuramyi-L-alanyi-D-iso- glutamine, diinkubasikan 37°C
dengan 5% CO2 95% udara setama 4 hari(16). Berhasilnya imunisasi in
vitro ini telah membuka petuang dilakukannya stimulasi in vitro sel B
manusia, karena imunisasi in vivo tidak dapat dijaiankan karena
dibatasi etika, yang seianjutnya diikuti fusi dengan sel mieloma
manusia atau transformasi dengan virus
Epstein-Barr sehingga dapat dibuat antibodi monoktonat manusia(16)
.
2) Pilihan sel mieloma
Yang rnenjadi pertimbangan dalam memilih sel mieloma, adalah:
a) Spesies
Sd
mieloma yang berasal dari spesies yang sama dengan binatang yang
diimunisasi akan mengurangi segregasi kromosom pasca fusi. Contoh yang
ekstrim ialah hibridoma sel mieloma mencit dengan sel limpa
manusia,kromosom sel manusia dengan cepat mengalami segregasi sehingga
hasil hibrid menjadi tidak stabi1(11,17). Dalam perkembangannya,
pemilihan sel mieloma yang berbeda spesies dapat dilakukan terutama
untuk tujuan tertentu. Hibrid sel mencit dengan tikus telah dibuat dan
berhasil baik, tetapi perbedaan spesies yang terlalu jauh dikatakan
tidak produktif(18)
.
Walaupun pembuatan antibodi monokional
mencitdan tikus sudah berhasil baik, gunanya secara klinis sangat
terbatas karena tetap merupakan protein asing untuk manusia. Karena itu
dikembangkan hibrid manusia dengan mengembangkan sel mieloma manusia
yang sensitif terhadap hypoxanthinc-aminopterin-thymidine. Tim dari
Stanford University telah berhasil membuat galur sel mieloma tersebut
yaitu U-266 AR1 dengan nomor registrasi SKO-007. Sayangnya galur ini
masih membuat sendiri IgE(19)
.
b) Sintesis imunoglobulin
Sel
hibridoma mengekspresikan rantai imunoglobulin secara codominant,
sehingga imunoglobulin dan sel mieloma akan diekspresikan bersama
imunoglobulin dan sel limpa dengan
kombinasi secara acak(19).
Sebagai contoh, bila sel mieloma membentuk rantai berat dan rantai
ringan imunoglobulin, seperti juga halnya dengan sel limpa, maka
imunoglobulin dan sel hibrid
merupakan kombinasi acak dari ke-4
rantai dan antibodi spesifik hanya terdapat 1/16 dari seluruh
imunoglobutin yang terbentuk(20). Karena itu pengembangan diarahkan
untuk membuat sel
mieloma yang tidak membuat rantai imunoglobulin
tetapi tetap dapat fusi dengan baik. Gatur sel mieloma mencit
SP2/O-Ag14 yang merupakan hasil reclone SP2/HI-Ag adalah sel mieloma
pertama yang tidak membentuk rantai imunogtobutin(20). Ber-
bagai jenis mieloma dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Galur sel mieloma
Galur Spesies asal Produksi Ig
P3-x63-Ag8 Mencit IgG I
P3-NSI/I-A4-I Mencit Kappa
P3-x63-Ag8.653 Mencit
SP2/O-Ag 14
Mencit
FO Mencit
Fl0-RCY3-Agl Tikus Kappa
Sumber 18.
3) Medium biakan
Medium
biakan umumnya DMEM atau RPMI 1640 dengan tambahan fetal calfserum
(FCS) dan aditif lainnya. Yang menjadi masalah adalah FCS harganya
mahal, sutit didapat dan kuali-
tasnya sangat bervariasi
tergantung sumbernya bahkan juga bervariasi untuk tiap batch.
Penambahan FCS sangat penting, bahkan pada waktu fusi, seleksi dan
cloning kadar FCS dalam
medium sering dinaikkan. Dipilih FCS karena
kandungan imunogtobulinnya rendah sehingga tidak mempengaruhi assay
serta sangat mendukung tumbuh dan kembang biak sel(11)
.
Usaha pengembangan dilakukan untuk mendapatkan medium tanpa serum karena memberi keuntungan:
•memungkinkan penetitian yang tak memperbotehkan adanya protein serum atau bahan-bahan dan serum misatnya hormon, antibodi.
•ekonomis, terutama untuk menumbuhkan sel dalam skala besar.
•mempermudah
pemurnian antibodi monokional, bahkan pada beberapa keadaan, antibodi
monokional dapat langsung digunakan tanpa pemurnian(21).Salah satu dari
medium tanpa
serum adalah Serum-free KSLM medium yang menggunakan
medium dasar RPMI 1640 + DMEM + Hams F-12 medium dengan perbandingan 2:
1: 1, ditambah insulin, 2-amino etanol,
2-merkaptoetanot, natrium
selenit, LDL manusia, asam oleat dalam kompleks dengan albumin serum
sapi (BSA)(22). Serum- free KSLM medium terbukti sama baiknya untuk
menumbuhkan sel mieloma NS- 1 dan sel hibnidoma (Tabet 2), dibandingkan
medium dengan 10% FCS. Harus menjadi perhatian bahwa tidak semuajenis
sel mieloma atau hibridoma cocok dengan medium tanpa serum(21)
.
Tabel 2. Hasil fusi mieloma dan sel limpa dalam medium KSLM dan Medium dasar + FCS
Induk mieloma Kondisi % Sumur (+) Ab terhadap A431
Koloni/sumur % sumur (+)
NS-I KSLM 54
NS-I-503 KSLM KSLM + FCS 10% 51 12 25
NS-1-503 MD+FCS 85 12 33
NS-I 10%n 75 510 57
5 10 60
Keterangan :
KSLM = medium tanpa serum
MD = medium dasar
N 1-503 = varian dan sel NS-1 yang telah diadaptasikan pada medium tanpa lipid.
4) Fusi sel
Fusi
sel diawali dengan fusi membran plasma sehingga menghasitkan sel besar
dengan dua atau lebih inti yang berasal dari kedua induk sel yang
berbedajenis, disebut heterokaryon, pada waktu tumbuh dan membelah diri
terbentuk 1 inti yang me- ngandung knomosom kedua induk disebut sebagai
sel hybrid(17)
.
Frekuensi fusi dipengaruhi bermacammacam faktor:
jenis medium.
perbandingan jumtah sel timpa dengan sel mieloma.
jenis sel mieloma yang digunakan.
bahan yang mendorong timbulnya fusi (fusogen), misainya polyethylene glycol(23)
.
Secara garis besar fusogen dibagi menjadi 2 kategori:
Virus berselubung. Yang sering digunakan adalah virus Sendai(17,24)
. Reagensia tipofitik atau tipolitik, misal lysole cithin dan polyethylene g1ycol(17)
.
Pada
awal penelitiannya Kohier dan Milstein menggunakan virus Sendai yang
inaktif sebagai fusogen(3), tetapi karena sulit menyiapkannya,
efisiensinya sangat bervariasi dan hanya men-
dorong fusi pada
beberapa jenis sel saja, maka fusogen diganti dengan polyethylene
glycol yang lebih mudah didapat dan dapat mendorong fusi pada sel
dengan jenis yang lebih luas(17). Pengembangan fusi sel banyak
diarahkan untuk menaikkan efisiensi fusi yang dianggap masih rendah,
antara lain dengan cara:
•mengembangkan fusogen
Polyethyleneglycol
(PEG) secara luas sudah digunakan sebagai fusogen, biasanya dengan
berat molekul 10006000, konsentrasi 50%. Penambahan PEG dengan DMSO
(dimethylsulphoxide) ternyata dapat menaikkan efisiensi fusi(17)
•mengembangkan teknik fusi lain,yaitu menggunakan medan listrik pada limfoblas(25)
.
5) Penumbuhan hibndoma
Berdasarkan
pengamatan Fazekas de St Groth dan Schei- degger, penumbuhan hibrid
pasca fusi yang dilakukan dengan feeder cell (sel limpa tidak imun)
memberi hasil yang lebih konstan dibanding tanpa feeder cell(18).
Sebagai feeder system dapat digunakan sel limpa tidak imun, thymocyte,
makrofag peritoneum, fibroblas manusia yang telah diradiasi(18),
lipopolisakarida (LPS), supernatan makrofag, supernatan biakan endotel
manusia dan serum darah tali pusat manusia(13). Dalam feeder system
terdapat faktor pendorong penumbuhan sel, sebagai contoh:
•mitogen lipopolisakarida (LPS), efeknya diperkuat dengan penambahan dextran sufat.
•supernatan makrofag mengandung monokin (interleukin-1) menimbulkan aktivasi limfosit.
•supernatan
biakan endotel pembuluh darah manusia dapat mendorong proliferasi dan
diferensiasi hibridoma sel B, faktor mitogennya sampai sekarang betum
diketahui. Demikian juga dengan serum tali pusat manusia yang sampai
saat ini belum diketahui faktor yang mendorong tumbuhnya hibridoma(13)
.
Penambahan feeder system terbukti menaikkan frekuensi sel limpa
pembentuk klon dan frekuensi terbentuknya klon yang membuat antibodi
setelah fusi (Tabel 3)(13)
.
Tibet 3. Efek berbagai Feeder system pada hibridoma
Stimulator Jumlah sumur biakan (jumlah fusi) % jumlah biakan membentuk klon Sumur dengan klon Klon Ab (+)
Frekuensi % jumlah Frekuensi
sel biakan set
limps membentuk limps
klon
CS 384 4 65 1.05 12 1.3
LPS + D x S 384 4 99 4.61 33 4.0
p. Makrofag 384 (4) 98 3.91 42 5.4
S 288 3 99 4.61 34 4.2
CA 384 4 99 4.61 33 4.0
Keterangan :
FCS = fetal ca/f serum
LPS + D x S = lipopolisakaridu + dextran cu/fat
HECS = supernatan biakan endotel, manusia
HUCA = serum darah tali pusat manusia
KESIMPULAN
Hibridoma
merupakan fusi sel limfosit B dengan sel mieloma, yang dapat dibiakkan
terus menerus. Karena hibridoma sel limfosit B tetap mempertahankan
ekspresi gen imunoglobulin maka dimanfaatkan untuk membuat antibodi
monoklonal. Frekuensi timbulnya hibrid setelah fusi sangat rendah,
karena itu pengembangannya banyak diarahkan untuk menaikkan frekuensi
fusi
dan mendapatkan klon hidup secara maksimal. Cara imunisasi konvensional
memberi hasil cukup baik, tetapi cara imunisasi sekali suntik
intratimpa dan in vitro memberi hasil lebih baik, lebih hemat antigen
serta waktunya lebih singkat, bahkan imunisasi in vitro membuka peluang
dilakukannya imunisasi limfosit B manusia, dimana imunisasi in vivo
tidak dapat dilakukan karena dibatasi etika. Pilihan sel mieloma makin
beragam, baik spesies (mencit, tikus, manusia) maupun sifatnya, makin
ideal untuk membuat antibodi monokional dengan dikembangkannya galur
sel mieloma yang tidak membentuk rantai imunogtobulin. Medium dasar
ditambah
FCS (fetal calf serum) secara umum cukup baik, tetapi FCS merupakan
hambatan karena harganya mahal, sulit didapatkan serta hasilnya
bervariasi. Karana itu dikembangkan
medium tanpa serum sehingga
penelitian yang perlu keadaan tanpa serum dapat dilakukan dan biaya
pemeliharaan sd dalam skala besar akan lebih murah. Untuk mendorong
timbulnya fusi sel banyak digunakan polyethyleneglycol (PEG) yang mudah
didapat dan cukup efektif. Pengembangan dilakukan untuk memperbaiki
frekuensi fusi dengan menambahkan DMSO bersama PEG dan penggunaan medan
listnik. Penambahan bermacam-macam feeder system, terbukti dapat
mendorong penumbuhan hibridoma.
KEPUSTAKAAN
1. Abba.s AK, Lichtman AH, Parker IS. (eds). Cellular and Molecular Immu- nology. New York: WB. Saunders Co. 1991.
2.
Mason DY. Cordell JL, Pulford KAF. Production of Monoclonal Antibodies
forlmmunocytochemical Use. Dalam Techniques in Immunochemistry. ed.
W.R. Bullock, Vol. 2. London: Academic Press 1983: hal. 175.-I 80.
3. KohlerG. Milstein C. Continuous cultures of fused cells secreting antibody
of predifined specifity. Nature 1975; 256: 49597.
4. Di VT. Morrison SL. Chimeric antibodies. Biotechniques. 1986: 4(3):
21720.
5. Cotton RGH. Milstein C. Fusion of Two Immunoglobulin-producing
Myeloma cells. Nature 1973: 244: 423.
6. WinterG. Harris WI. Humanized antibodies. Immunology Today 1993: 14:
24346.
7. Waldman H, Colbold S. The use of monoclonal antibodies to achieve
immunological tolerance. Immunology Today 1993: 14: 2475 I.
8. Vitetta ES. Thorpe PE, UhrJW. Immunotoxins: Magic bullets or misguided
missiles. Immunology Today 1993: 14: 25259.
9. Harlow E. Lane ED. (eds). Antibodies A Laboratory Manual. New York:
Cold Spring Harbor PubI. 1988; hal 139281.
10. Cuello AC. Milstein C. Galfre G. Preparation and Application of Mono-
clonal Antibodies for Immunohistochemistry and Immunocytochemistry.
Dalam Methods in the Neurosciences. IBRO handbook series. 1983: Vol.
2. hal. 215223.
11. Galfie G Milstein C. Preparation of Monoclonal Antibodies : Strategies
and Procedures. Paper presented at WHO training course. Singapore. 1981.
12. Kearney IF. Hybridomas and Monoclonal Antibodies. Dalam Fundamental
Immunology. ed. W.E. Paul. New York: Raven Press. 4th ed. 1986: hal
Cermin Dunia Kedokteran No. 104, 1995 55
751754.
1980; 44: 542931.
13. Westerwoudt Ri. Factors Affecting Production of Monoclonal Antibodies.
Dalam Methods in Enzymology, ed. J.J. Lanone, H.V. Vunakis, Vol. 121.
Orlando: Academic Press. 1986; hal. 318.
20. Shulman M, Wilde CD, Kohler. A better cell line for making hybridomas
secreting specific antibodies. Nature. 1978; 276: 26970.
21. Kovar J, Franek F. Serum-Free Medium for Hybridoma and Parental
Myeloma Cell Cultivation. Dalam Methods in Enzymology,ed. J.J. Lanone,
H.V. Vunakis, Vol. 121. Orlando: Academic Press. 1986; hal. 27792.
14. Spitz M. "Single-Shot" Intrasplenic Immunization for the Production of
Monoclonal Antibodies. Dalam Methods in Enzyrnology, ed. J.i. Lanonø,
H.V. Vunakis, Vol. 121. Orlando: Academic Press. 1986; hal. 3341.
22. Kawamoto T, Sato JD, McClure DB, SatoGH. Serum-Free Medium for the
Growth of NS-1 Mouse Myeloma Cells and the Isolation of NS- I Hybrid-
omas. Dalam Methods in Enzymology, ed. J.J. Lanone, H.V. Vunakis, Vol.
121. Orlando: Academic Press. 1986; hal. 266277.
15. Reading CL. In Vitro Immunization for the Production of Antigen-Specific
Lymphocyte Hybridomas. Dalam Methods in Enzymology,ed. J.J. Lanone,
H.V. Vunakis, Vol. 121. Orlando: Academic Press. 1986; hal. 1927.
16. Boss BD. An Improved In Vitro Immunization Procedure for the Pro-
duction of Monoclonal Antibodies. Dalam Methods in Enzymology, ed.
J.J. Lanone, H.V. Vunakis, Vol. 121. Orlando: Academic Press. 1986; hal.
2733.
23. Mourik PV, Zeijiemaker WP. Improved Hybridoma Technology: Spleen
Cell Separation and Soluble Growth Factors. Dalam Methods in Enzymo-
logy, ed. J.J. Lanone, H.V. Vunakis, Vol. 121. Orlando: Academic Press.
1986; hal. 174175.
17. Kennett RH. Cell fusion. Dalam Methods in Enzymology. ed. W.B. Jakoby.
Vol. LVIII. Orlando: Academic Press. 1979; hal. 34559.
24. Joklik WK, Willett HP, Amos DB. Zinsser Microbiology. New York:
Appleton-Century-Croft 18th. ed. 1984; hal. 895896.
18. Hurrel JGR. Monoclonal Hybridoma Antibodies : Techniques and Appli-
cations. Boca Raton: CRC Press Inc. 1985; 429.
25. Lane RD, Crissman RS, Ginn S. High Efficiency Fusion Procedure for
Producing Monoclonal Antibodies against Weak Immunogen. Dalam
Methods in Enzymology, ed. i.J. Lanone, H.V. Vunakis, Vol. 121.
Orlando: Academic Press. 1986; hal. 183184.
19. Olsson L, Kaplan HS. Human-human hybridomas producing monoctonal
antibodies of predefined antigenic specificity. Proc. Natl. Acad. Sci. USA.
Cermin Dunia Kedokteran No. 104, 1995
56
teknologi hibridoma
Langganan:
Posting Komentar (Atom)







0 komentar:
Posting Komentar